Rabu, 28 April 2010

Histologi ikan layang

  1. I. PENDAHULUAN
  2. 1.1. Latar belakang
  3. Perairan Pemalang merupakan perairan yang berada di Propinsi Jawa Tengah. Secara geografi terletak diantara 80 52’ 30” LS – 70 20’ 11” LS dan 1090 17’ 30” BT - 1090 40’ 30” BT. Perairan Pemalang memiliki panjang ± 35 km, dengan daerah dataran pantai antara 1 – 5 m di atas permukaan air laut. Perairan Pemalang merupakan perairan Laut Utara Jawa yang memiliki potensi perikanan laut yang cukup tinggi diantaranya ikan pelagis kecil seperti ikan layang. (DKP, 2007)
  4. Hasil tangkapan ikan layang kabupaten Pemalang per tahun mengalami penurunan produksi dari tahun 2003 sampai 2007. Penurunan produksi ini dapat dilihat dari produksi per tahun ikan layang yaitu pada tahun 2003 produksi sebesar 385.799 ton, pada tahun 2004 sebesar 369.847 ton, pada tahun 2005 sebesar 101.233 ton, dan pada tahun 2007 sebesar 78.161 ton. (DKP, 2007)
  5. Ikan layang termasuk ikan komersil, yang pengelolanya biasanya dalam bentuk pemindangan dan pengasinan. Meningkatnya jumlah permintaan akan kebutuhan konsumsi ikan khususnya dalam bentuk pemindangan, oleh karena itu akan meningkatkan penangkapan ikan layang sehingga dikhawatirkan mempengaruhi aspek reproduksi ikan layang dan kelestariannya akan terganggu.
  6. Sampai saat ini, informasi aktual yang berkenaan dengan tingkat pengusahaan dan potensi sumberdaya ikan layang masih terbatas, padahal ini penting untuk langkah-langkah kebijakan untuk pengelolaan sumberdaya.

    Dalam rangka pengembangan perikanan pelagis kecil terutama ikan layang (Decapterus russelli) di Kabupaten Pemalang perlu dilakukan pengkajian untuk mengetahui aspek reproduksi meliputi Indeks gonado somatik, diameter telur, fekunditas dan tingkat perkembangan gonad ikan layang sebagai akibat perubahan stok.

    1.1. Perumusan masalah penelitian

    Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

    1) Bagaimanakah tingkat pematangan gonad dan indeks gonado somatik ikan layang (Decapterus russelli) di perairan Pemalang?

    2) Bagaimanakah fekunditas dan diameter telur ikan layang (Decapterus russelli) di perairan Pemalang?

    1.2. Tujuan penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

    1. Mengetahui tingkat pematangan gonad dan indeks gonado somatik ikan layang (Decapterus russelli) di perairan Pemalang

    2. Mengetahui fekunditas dan diameter telur ikan layang (Decapterus russelli) di perairan Pemalang

    1.3. Manfaat

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aspek reproduksi ikan layang (Decapterus russelli) di perairan Pemalang yang dapat dijadikan dasar dalam pengembangan pengelolaan sumberdaya ikan layang baik untuk kepentingan penangkapan maupun budidaya agar kelestariannya dapat dirumuskan.

    I. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Biologi dan Habitat Ikan Layang

    Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

    Filum : Chordata

    Subfilum : Vertebrata

    Kelas : Actinopterygii

    Ordo : Perciformes

    SubOrdo : Percoidei

    Famili : Carangidae

    Genus : Decapterus

    Spesies : Decapterus russelli RUPPELL

    Ikan layang (Decapterus russelli) mempunyai nama umum round scad (Nurhakim, 1987). Ikan layang merupakan ikan yang mempunyai kemampuan bergerak dengan cepat di air laut. Tingginya kecepatan tersebut dapat dicapai karena bentuk tubuhnya yang seperti cerutu dan mempunyai sisik yang sangat halus (Burhanuddin et. al. 1981).

    Ikan layang (Decapterus russelli) bentuk tubuh seperti cerutu tetapi agak pipih, sirip dada lebih pendek dari panjang kepala, maxilla hampir mencapai lengkung mata terdepan, ikan layang (Decapterus russelli) dalam keadaan segar seluruh tubuhnya berwarna merah jambu, dan pada bagian belakang tutup insang terdapat totol hitam (Burhanuddin et al, 1981). Menurut Anonimous (1990) ciri-ciri ikan layang adalah bentuk tubuh memanjang dan agak gepeng. Nurhakim (1987) menyatakan sirip dada berbentuk falcate dan ujung sirip tersebut mencapai awal dari sirip punggung kedua.

    Ikan layang merupakan ikan perenang cepat yang hidup berkelompok di Laut yang jernih dan bersalinitas tinggi. Menurut Hariati et al., (2005) Ikan layang (Decapterus russelli) hidup di perairan dengan salinitas tinggi yaitu ± 32‰. Ikan layang juga termasuk dalam ikan stenohalyn yang dapat hidup dengan memakan plankton (Burhanuddin et.al.,1981). Makanan ikan layang sangat tergantung pada plankton, terutama jenis-jenis zooplankton. Pada beberapa kasus ternyata bahwa ikan layang tidak mutlak tergantung pada zooplankton. Tiews et al. (1968) dalam Burhanuddin et al. (1981) mendapatkan bahwa ikan-ikan kecil merupakan makanan bagi Decapterus russelli dan Burhanuddin pernah menemukan satu ekor dari kota agung isi perutnya hanya dua ekor ikan teri (Stolephorus spp.) dan seekor ikan japuh (Dussumiera acuta). Menurut Martosewojo dan Djamali (1980) dalam Burhanuddin (1981) makanan Decapterus russelli yang utama adalah Crustacea seperti Copepoda serta telurnya, Mysidacea, Amphipoda, Ostracoda, dan potongan-potongan udang.

    2.2. Aspek Reproduksi Ikan Layang

    Reproduksi ikan merupakan suatu peristiwa pertemuan gamet ikan jantan dan betina yang bertujuan untuk pembuahan telur oleh spermatozoa. Pada umumnya reproduksi atau pembuahan terjadi di luar tubuhnya yang disebut fertilisasi eksternal. Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya (Fujaya, 2004). Menurut widodo (1991) dalam Pralampita et al., (2002), reproduksi merupakan suatu proses perkembangbiakan jenis

    ikan sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam memanfaatkan dan mengelola suatu sumberdaya ikan harus memperhitungkan dan mempertimbangkan proses perkembangbiakan dalam rangka untuk mencegah kepunahan sumberdaya tersebut salah satu aspek reproduksi yang penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah tingkat kematangan gonad (TKG). Dengan demikian data tentang potensi reproduksi spesies-spesies ikan yang terdapat di suatu perairan merupakan informasi penting yang harus dimiliki untuk mendapatkan stok ikan dalam rangka strategi dan pengelolaan perikanan. Aspek reproduksi ikan meliputi IGS, tingkat perkembangan gonad, fekunditas, dan diameter telur.

    2.2.1. Tingkat Perkembangan Gonad

    Tingkat perkembangan gonad adalah tahap perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan berpijah. Fase reproduksi ikan ditandai dengan adanya perubahan dan perkembangan organ reproduksi ikan. Perubahan morfologi organ reproduksi ikan mudah dikenali, oleh karena itu dapat digunakan sebagai indikator tingkat kematangan kelamin yang dikenal dengan istilah tingkat perkembangan gonad. Komposisi tingkat perkembangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang belum atau sudah matang gonad, sebelum mijah atau sudah mijah dan waktu memijah (Effendie, 1979 ).

    Penentuan tingkat perkembangan gonad dapat dilakukan secara morfologi dan histologi. Untuk penentuan tingkat perkembangan gonad yang dilakukan secara morfologi dapat dilihat bentuk, panjang, bobot, dan warna serta perkembangan isi gonad. Penentuan tingkat perkembangan gonad secara histologi dapat dilihat dari sel-sel jaringannya (Effendie, 1997).

    2.2.2. Indeks Gonado Somatik (IGS)

    Nilai Indeks Gonado Somatik (IGS) yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dan dikalikan dengan 100%. Nilai IGS pada ikan betina lebih besar dibandingkan dengan jantan, dan nilai IGS akan semakin bertambah besar sejalan dengan perkembangan gonad dan akan mencapai batas kisaran maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Nilai IGS ikan Thead fin berkisar antara 1-25%, ikan dengan nilai IGS 19% ada yang sanggup mengeluarkan telurnya. Nilai IGS pada ikan jantan 5-10%, lebih kecil dibandingkan betina yang disebabkan pada ikan betina terdapat pengendapan kuning telur (Johnson, 1971 dalam Effendi, 1997).

    2.2.3. Fekunditas

    Fekunditas adalah jumlah telur pada kematangan terakhir yang terdapat dalam ovarium sebelum berlangsung pemijahan. Fekunditas yang menunjukan jumlah telur yang dikandung individu ikan dikatakan sebagai fekunditas mutlak. Sedangkan jumlah telur per satuan berat atau panjang ikan disebut sebagai fekunditas relatif (Nikolsky, 1963 dalam Burhanudin et al., 1981). Fekunditas total menurut Royce (1972) dalam Effendie (1979) adalah jumlah telur yang dihasilkan ikan selama hidupnya

    Rao (1967) dalam Burhanuddin et al., (1981) menyatakan bahwa telur yang telah matang dan siap dikeluarkan berwarna kuning sampai kemerah-

    merahan, butir-butirnya mudah dipisahkan, kelihatan Opaque atau translucent dengan bintik-bintik minyak.

    Fekunditas ikan bukan saja merupakan salah satu aspek dari natural history, tetapi sebenarnya ada hubungannya dengan studi dinamika populasi, sifat-sifat rasial, produksi dan persoalan stok-rekruitmen. Dalam hubungan tersebut ada faktor lain yang memegang peranan penting dan sangat erat hubungannya dengan strategi dalam rangka mempertahankan kehadiran species itu di alam, terutama penyesuaian diri terhadap bermacam-macam kondisi lingkungan dan respon terhadap makanan (Bagenal, 1978 dalam Effendie, 1997).

    Fekunditas dapat dihitung dengan beberapa cara, yaitu dengan metode jumlah, metode volumetri, metode grafimetri, dan metode von bayer (Effendie, 1979). Metode jumlah dilakukan dengan menghitung semua telur satu persatu atau dikenal pula dengan sensus lengkap, tetapi metode ini hanya dilakukan pada ikan-ikan yang mempunyai telur sedikit (Sutisno dan Sutarmanto, 1995). Metode volumetri dilaksanakan dengan cara mengukur volume seluruh telur dengan teknik pemindahan air. Effendie (1979) menjelaskan bahwa metode gravimetri dapat dilakukan dengan mengambil sebagian gonad yang sebelumnya telah disimpan dalam larutan gilson kemudian ditimbang dan dicatat serta dihitung jumlah telur yang terdapat di dalamnya.

    2.2.4. Diameter Telur Ikan

    Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang dari suatu telur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera. Garis tengah telur pada gonad yang sudah matang berguna untuk menduga frekuensi pemijahan yaitu dengan melihat modus penyebaran diameter telur ikan dan lama pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran telur ikan (Sumantadinata, 1983).

    Ovarium yang mengandung telur ikan masak berukuran sama menunjukkan waktu pemijahan yang pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang ditandai dengan bervariasinya ukuran telur ikan. Purdom (1993) menyatakan bahwa pada umumnya kisaran diameter telur maksimal pada telur yang sudah matang berkisar antara 1 - 2 mm.

    2.3. Kualitas Air

    Kualitas air merupakan salah satu faktor yang mendukung proses kehidupan ikan. Proses reproduksi ikan merupakan proses kehidupan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan baik faktor fisik maupun faktor kimia air diantaranya temperatur, pH, dan salinitas. Beberapa parameter fisika dan kimia air dapat mempengaruhi hidup ikan antara lain suhu, pH dan salinitas (Basmi, 1999).

    Temperatur merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam proses kehidupan dan metabilisme hewan serta tumbuhan (Nyebakken, 1992 dalam Melani, 2003). Menurut Barus (2002), kenaikan temperatur akan meningkatkan laju metabolisme. Akibat meningkatnya laju metabolisme akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Temperatur yang baik bagi kehidupan ikan berkisar antara 15 - 32 0C (Mintardjo et al., 1985). Clark dalam Maulana (2004) menyatakan bahwa di perairan tropik ikan akan tumbuh dengan baik pada kisaran 25–32 0C tetapi ikan mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap

    temperatur dari jenis ikan, stadium dalam suatu hidupnya, oksigen terlarut dan musim. Menurut Nontji (1987 ) dalam Maesaroh (2007) temperatur permukaan di perairan Indonesia umumnya 28 – 31 0C.

    pH adalah suatu indeks konsentrasi ion hidrogen dan memiliki pengaruh penting terhadap kehidupan ikan. Dalam suatu perairan dengan pH < 5 ikan tidak dapat berkembang atau mati, pH < 6,5 pertumbuhan ikan lambat, pH 6,5 – 9 layak untuk kehidupan ikan, pH > 9 pertumbuhan ikan lambat dan pada pH > 11 menyebabkan kematian ikan (NTAC, 1968 dalam Raga, 2008). Kisaran baku mutu pH air laut untuk biota laut adalah 7-8,5 (KEPMEN LH No.51/2004)

    Salinitas adalah nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam yang terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (‰) (Barus.2002). Salinitas merupakan faktor pembatas kehidupan organisme akuatik. Salinitas di perairan laut mempunyai kestabilan yang relatif tinggi, berkisar antara 34 – 35 ‰ (Odum, 1971). Baku mutu untuk biota laut adalah salinitas perairan alami (KEPMEN LH No. 51/2004). Menurut Hariati et al (2005) ikan layang merupakan jenis ikan pelagis kecil yang hidup di perairan dengan salinitas tinggi atau pada perairan dengan salinitas tidak kurang dari 32‰.

    I. MATERI DAN METODE

    3.1. Materi Penelitian

    3.1.1. Bahan

    Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan layang yang tertangkap di Perairan Pemalang, larutan Gilson (asam asetat, cloroform dan etanol dengan perbandingan 1:1:1) Love and Johnson (1998), larutan Bouin Hollande (aquades 100 mL, cupri asetat 2,5 g, formalin 10 mL, asam asetat 1 mL dan asam pikrit 4 g) dan alkohol 70%.

    3.1.2. Alat

    Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, Mikroskop “Olympus optical CH20B1MF200”, objek glass, cover glass, mikrometer okuler model UYCP-12 (+0,01mm), mikrometer objektif “Erma” (+0,01mm), millimeter blok, timbangan analitik model MB2610 (+ 0,1 g), ice box 24 L, botol sampel, discuting dan cawan petri.

    3.2. Metode Penelitian

    3.2.1. Variabel dan Parameter

    Variabel yang diamati yaitu aspek reproduksi ikan layang yang meliputi tingkat perkembangan gonad, fekunditas, diameter telur, indeks gonado somatik dan histologi. Parameter yang akan diukur berupa bobot dan panjang tubuh ikan, bobot gonad, jumlah telur dan ukuran telur. Parameter pendukung berupa kualitas air seperti temperatur, pH dan salinitas.

    3.2.2. Metode dan Teknik Pengambilan Sampel

    Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan pengambilan sampel diperoleh melalui nelayan yang melakukan penangkapan pada kapal berjalan (on board sampling) dengan mengambil 40 ekor secara random sampling. Pengambilan sample dilakukan di perairan Pemalang dengan interval waktu pengambilan sampel setiap 1 minggu selama 1 bulan.

    3.2.3. Pengambilan dan Pengawetan Sampel Ikan

    Sampel ikan dimasukkan kedalam ice box yang berisi es batu sebagai pengawet kemudian dibawa ke Laboratorium jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman.

    3.2.4. Penanganan Sampel Organ

    Sampel ikan layang yang telah diukur dan ditimbang kemudian dibedah dan diambil gonadnya lalu ditimbang, setelah itu sampel gonad diambil sebagian di timbang untuk disimpan dalam larutan Bouin Hollande selama 1X24 jam, kemudian dicuci 2 kali dengan alcohol 70% selanjutnya disimpan dalam alkohol absolut sampai dilakukan pembuatan preparat histologi (lampiran. 4) (Pramono, 2008). Khusus untuk sample gonad (ovarium yang sudah terlihat telurnya) sebagian lagi disimpan dalam larutan Gilson untuk perhitungan fekunditas dan diameter telur.

    3.2.5. Pengumpulan Data

    3.2.5.1. Pengukuran panjang dan bobot ikan

    Panjang ikan yang diukur adalah panjang total yaitu jarak antara ujung moncong hingga ujung sirip ekor. Bobot ikan ditimbang dengan menggunakan timbangan elektrik.

    3.2.5.2. Tingkat Perkembangan Gonad

    Pengamatan tingkat perkembangan gonad dilakukan dengan menganalisis preparat histologi gonad di bawah mikroskop. Penentuan tingkat perkembangan gonad jantan berpedoman pada klasifikasi yang disusun oleh Kaya dan Haster (1972) dalam Effendie (1997), sedangkan untuk penentuan tingkat perkembangan gonad betina berpedoman pada klasifikasi yang disusun oleh Rinchard dan Kestemont (1996) dalam Sulistyo et al. (1998).

    Tabel 1. Histologi testis menurut Kaya dan Haster (1972) dalam Efendie (1997).

    No

    Tingkatan testis

    Keterangan

    1

    Testis regresi

    Dinding gonad dilapisi oleh spermatogonia awal dan sekunder, sperma sisa masih terlihat

    2

    Perkembangan spermatogonia

    Sama dengan tingkat I hanya proporsi spermatogonia sekunder bertambah.

    3

    Awal aktif spermatogenesis

    Cyste spermatocyt timbul kemudian semakin bertambah, cyste spermatid dan spermatozoa juga mulai keluar.

    4

    Aktif spermatogenesis

    Semua tingkat spermatogenesis ada dalam jumlah yang banyak, spermatozoa bebas mulai terlihat dalam rongga seminiferous

    5

    Testis masak

    Lumen penuh dengan spermatozoa, pada dinding lobule penuh dengan cyste bermacam-macam tingkat.

    6

    Testis regresi

    Rongga seminiferous masih berisi spermatozoa, ukuran testis mengkerut karena sperma dikeluarkan.

    Tabel 2. Histologi ovarium menurut Rinchard dan Kestemont (1996) dalam Sulistyo et al. (1998).

    No

    Tingkat

    Ovarium

    Tingkat Oosit

    Keterangan

    1

    Previtellogenik

    Oosit Previtellogenik

    Oosit dengan gelembung bebas dari sitoplasma

    2

    Vitellogenesis

    Oosit dalam endogen vitellogenesis

    Muncul gelembung yolk yang menempati 2 atau 3 cicin didalam sitoplasma.

    3

    Penyelesaian vitellogenesis endogen

    Penyelesaian Oosit vitellogenesis endogen

    Oosit dipenuhi gelembung yolk, lapisan folikuler seluler berdiferensiasi.

    4

    Vitellogenesis eksogen

    Oosit Vitellogenesis eksogen

    Menghimpun kuning telur seperti bola kecil dan berada diatas luar sitoplasma.

    5

    Pematangan akhir

    Oosit dalam pematangan akhir

    Terlihatnya mikrofil dan migrasi gelembung germinal kemikrofil

    6

    Pasca peneluran

    Oosit fase peneluran

    Sebelum dan sesudah ovulasi folikel hipertropi, substansi yolk mengalami degradasi.

    3.2.5.3. Indeks Gonado Somatik (IGS)

    Perhitungan IGS mengunakan rumus Effendie (1979), yaitu :

    Keterangan :

    IGS : Indeks Gonadosomatik (%)

    Bg : Bobot gonad (g)

    Bt : Bobot tubuh (g)

    3.2.5.4. Fekunditas

    Perhitungan fekunditas dilakukan dengan cara mengambil sebagian gonad yang disimpan dalam larutan Gilson kemudian ditimbang dan dicatat, selanjutnya dihitung jumlah telur di dalamnya. Perhitungan fekunditas menggunakan metode gravimetric (Effendie,1979), yaitu :

    Tabel 2. Histologi ovarium menurut Rinchard dan Kestemont (1996) dalam Sulistyo et al. (1998).

    No

    Tingkat

    Ovarium

    Tingkat Oosit

    Keterangan

    1

    Previtellogenik

    Oosit Previtellogenik

    Oosit dengan gelembung bebas dari sitoplasma

    2

    Vitellogenesis

    Oosit dalam endogen vitellogenesis

    Muncul gelembung yolk yang menempati 2 atau 3 cicin didalam sitoplasma.

    3

    Penyelesaian vitellogenesis endogen

    Penyelesaian Oosit vitellogenesis endogen

    Oosit dipenuhi gelembung yolk, lapisan folikuler seluler berdiferensiasi.

    4

    Vitellogenesis eksogen

    Oosit Vitellogenesis eksogen

    Menghimpun kuning telur seperti bola kecil dan berada diatas luar sitoplasma.

    5

    Pematangan akhir

    Oosit dalam pematangan akhir

    Terlihatnya mikrofil dan migrasi gelembung germinal kemikrofil

    6

    Pasca peneluran

    Oosit fase peneluran

    Sebelum dan sesudah ovulasi folikel hipertropi, substansi yolk mengalami degradasi.

    3.2.5.3. Indeks Gonado Somatik (IGS)

    Perhitungan IGS mengunakan rumus Effendie (1979), yaitu :

    Keterangan :

    IGS : Indeks Gonadosomatik (%)

    Bg : Bobot gonad (g)

    Bt : Bobot tubuh (g)

    3.2.5.4. Fekunditas

    Perhitungan fekunditas dilakukan dengan cara mengambil sebagian gonad yang disimpan dalam larutan Gilson kemudian ditimbang dan dicatat, selanjutnya dihitung jumlah telur di dalamnya. Perhitungan fekunditas menggunakan metode gravimetric (Effendie,1979), yaitu :

    Keterangan :

    F : fekunditas (butir)

    G : bobot gonad (g)

    X : jumlah telur sebagian (butir)

    Q : bobot telur sebagian (g)

    3.2.5.5. Diameter Telur

    Telur yang diperoleh dari ikan layang diambil, kemudian diamati menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer yang sebelumnya dikalibrasi terlebih dahulu.

    Pengkalibrasian dihitung dengan rumus:




    3.2.5.6.. Kualitas Air

    Tabel 3. Pengukuran Kualitas air

    No

    Parameter

    Satuan

    Alat

    Sumber

    1

    Temperatur

    0C

    Termometer

    APHA (2005)

    2

    pH

    -

    Kertas indikator pH universal

    APHA (2005)

    3

    Salinitas

    NTU

    Refaktometer

    APHA (2005)

    3.3. Waktu dan Tempat Penelitian

    Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September-Oktober 2008. Lokasi penelitian di Perairan Pemalang. Pengamatan dilakukan di Laboratorium air tawar jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman.

    3.4. Analisis Data

    Data yang diperoleh dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk pengukuran yang cermat terhadap objek-objek yang diamati dan tujuan dari analisis deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat (Nazir, 1988).

    3.4. Analisis Data

    Data yang diperoleh dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk pengukuran yang cermat terhadap objek-objek yang diamati dan tujuan dari analisis deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat (Nazir, 1988).

    I. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Kondisi umum Kabupaten Pemalang

    Kabupaten Pemalang merupakan dataran rendah, sedang bagian selatan berupa pegunungan, dengan puncaknya Gunung Slamet (di perbatasan dengan Kabupaten Tegal dan Kabupaten Purbalingga), gunung tertinggi di Jawa Tengah. Sungai terbesar adalah Kali Comal, yang bermuara di Laut Jawa (Ujung Pemalang). Ibukota kabupaten ini berada di ujung barat laut wilayah kabupaten, berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Pemalang berada di jalur pantura Jakarta-Semarang-Surabaya. Selain itu terdapat jalan provinsi yang menghubungkan Pemalang dengan Purbalingga. Salah satu obyek wisata terkenal di Pemalang adalah Pantai Widuri.

    Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di pantai utara Pulau Jawa. Secara astronomis Kabupaten Pemalang terletak antara 1090 17' 30" - 1090 40' 30" BT dan 80 52' 30" - 70 20' 11" LS. Dari Semarang (Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah), Kabupaten ini berjarak kira-kira 135 Km ke arah barat, atau jika ditempuh dengan kendaraan darat memakan waktu lebih kurang 2-3 jam. Kabupaten Pemalang memiliki luas wilayah sebesar 111.530 km2. Wilayah ini di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tegal. Dengan demikian Kabupaten Pemalang memiliki posisi yang strategis, baik dari sisi perdagangan maupun pemerintahan.

    Kabupaten Pemalang memiliki topografi bervariasi. Bagian Utara Kabupaten Pemalang merupakan daerah pantai dengan ketinggian berkisar antara 1-5 meter di atas permukaan laut. Bagian tengah merupakan dataran rendah yang subur dengan ketinggian 6-15 m di atas permukaan laut dan bagian Selatan merupakan dataran tinggi dan pengunungan yang subur serta berhawa sejuk dengan ketinggian 16-925 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Pemalang ini dilintasi dua buah sungai besar yaitu Sungai Waluh dan Sungai Comal yang menjadikan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah aliran sungai yang subur.

    4.2. Indeks Gonado Somatik (IGS)

    Indeks gonado somatik (IGS) dinyatakan sebagai perbandingan berat gonad sebagai persentase dari berat tubuh. Didalam proses reproduksi sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Berat gonad akan semakin bertambah dan mencapai maksimum ketika ikan akan memijah, kemudian berat ikan menurun setelah pemijahan.

    Hasil perhitungan dari 40 ekor ikan Layang betina dan jantan disajikan dalam lampiran 2. Dari hasil tersebut terlihat bahwa nilai indeks gonado somatik bervariasi dengan bobot gonad. Pada ikan betina nilai IGS berkisar antara 0,32% - 5,99% sedangkan nilai IGS ikan jantan berkisar antara 0,11%-1,17%. Nilai IGS ikan betina lebih besar bila dibandingkan nilai IGS ikan jantan, hal ini dimungkin karena pada ikan betina perkembangan gonad mempengaruhi nilai indeks gonado somatik. Menurut Effendi (2002) menyatakan bahwa nilai IGS akan semakin meningkat dan akan mencapai nilai maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Pada ikan betina nilai IGS berkisar antara 1-25%, dan pada IGS 19% ada yang sanggup mengeluarkan telurnya. Sedangkan nilai IGS ikan jantan 5-10%, lebih kecil dibandingkan betina, yang disebabkan pada ikan betina terdapat pengendapan kuning telur. Sulistyo et al., (1998) menambahkan bahwa peningkatan nilai IGS disebabkan oleh akulasi yolk sehingga diameter oosit membesar.

    Gambar 5. Nilai rata-rata IGS ikan Layang jantan dan betina (Puntius binotatus) yang tertangkap di sungai Citanduy Jawa Barat.

    Berdasarkan gambar 5 dapat diketahui nilai IGS ikan jantan mencapai puncaknya pada tanggal 4 Oktober 2009 dan mengalami penurunan pada tanggal 3 November 2009. Sedangkan IGS ikan betina mencapai puncaknya pada tanggal 11 Oktober 2009 kemudian mengalami penurunan pada tanggal 3 November 2007. Nilai indeks gonado somatik yang berfluktuatif diperkirakan merupakan akibat dari tipe pemijahan ikan Layang yang multiple spawner. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendie (1997) yang mengungkapkan bahwa sejalan dengan pertumbuhan gonad, gonad akan mencapai maksimum pada saat ikan akan memijah karena sebagian hasil metabolisme ditujukan untuk perkembangan gonad dan kemudian akan menurun selama pemijahan. Ditambahkan Delahunty dan De Vlaming (1980) dalam Rusmadji et al .,(1994) yang menyatakan bahwa nilai indek kematangan gonad turun setelah pemijahan.

Tidak ada komentar: